(Nur Azizah, #Guru Belajar Menulis, #FLP Sumatera Barat, #IRo Society)

Sore ini aku menyusuri jalan Suprapto, jalan yang kulewati hari ini seminggu yang lalu, mengitari tugu Fatmawati yang terletak di jantung Kota Bengkulu, berjalan pelan dan membuka sedikit kaca, menghirup aroma udara di luar, siapa tahu aroma harummu masih tertinggal.

Pagi hari itu, aku memperhatikan beberapa foto di layar poselku, beberapa foto lama masih tersimpan, ponsel yang cukup jadul menurut teman-teman seusiaku, ga apalah, sudah punya ponselpun sudah bagus, ini pun sudah cukup untuk digunakan berkomunikasi dengan beberapa aplikasi.  Ada foto lamamu masih tersimpan, dan dengan sengaja aku mengirim 2 foto tangkapan layar awal tahun 2022 lalu pada pemiliknya tanpa sedikit pesan yang menyertai.

“Dimana orang ini, Arisha?” pesan masuk di Whatsapp

“Di hati akuuuu”, jawabku usil “Ikut pindah ke Bengkulu dia”. Haha aku tersenyum sendiri

“Ish, Kakak inilah, terus terang kali lah :D”.  Pesanmu berikutnya.

“Haha, kubu kali lah kakak ini, ga apaaa, orangnya jauuuuh”, jawabku dengan sangat yakin.

Laki-laki itu, Uda Emir, bertinggal jauh di seberang pulau sana, perlu banyak waktu untuk hanya sekedar melihatnya secara nyata, dan keinginan yang hanya kusimpan saja, menemaniku melewati hari-hari di kota yang baru 1 tahun aku tempati ini, walaupun laki-laki itu jauh tapi serasa selalu ada bersamaku, suaranya terdengar berbincang-bincang denganku, suara yang membantu menenangkan jiwaku dikala menghadapi masa-masa sulit.

Pagi ini aku mulai berangkat ke kantor, beberapa hari istirahat karena tidak fit, tidak sepert biasa, masih ada sisa-sisa rasa sedih bergelayut di hatiku, kehilangan orang terdekat dan mengikhlaskannya merupakan hal yang membuat banyak sistem hidup berubah, pola pikirpun ikut bergeser, bahwa tak seorangpun dapat mengatur takdir hidupnya, dan tidak ada yang abadi di dunia ini, air mataku masih berjatuhan jika mengenang beberapa peristiwa yang kualami.

“Bos kita baru, Arisha, jangan lewat pukul 07.30 sampai kantor ya”, pesan Ade mengingatkan.

“Kalau lewat gimana?”

“Ada konsekuensi yang harus kita terima, minimal pengurangan jam efektif kerja”.

“Oh, segitunya?’

“Ga apa sih, minimal ngurangi karyawan yang datang seenaknya saja”.

“Ok, De, makasih ya”. Aku mengakhiri obrolan via WhatsApp.

Pesan untuk datang paling lambat datang pukul 07.30 membuat aku serasa seperti pembalap, menyusuri jalan sepanjang Pantai Panjang, angin laut terasa cukup kencang dan hiruk pikuk orang yang mengantar anak-anaknya ke sekolah atau pergi ke tempat kerja membuat aku harus fokus dan terus berdoa hingga sampai ke tempatku kerja, karyawan baru tidak boleh terlambat.

Selepas sholat zuhur berjamaah di Mesjid, aku beristirahat sejenak, membaca beberapa pesan masuk, beberapa hanya baca saja, beberapa dibalas sesuai kebutuhan.

“Orangnya ga jauh pun, Arisha”, Pesan dari Uda Emir, membalas pesan yang kukirim pagi tadi.

“Alhamdulillaah”, jawabku singkat dan menutup obrolan. “Iya, Uda tidak pernah jauh, selalu ada di sini bersamaku”. Tapi pesan itu tidak aku kirim.

Aku menikmati sedikit makan siang dan berbincang dengan beberapa teman, canda tawa disela-sela suapan nasi dan beberapa menu pesanan masing-masing, sebelum jam makan siang berakhir, sebelum kembali dalam rutinitas kerja masing-masing.

“Mbak Wati, kapan mulai belajar Arabnya? Keburu tua loh”, tanyaku

“Aduh, lupa terus mengcopy buku panduan dasarnya, belajar Bahasa inggris saja kami dulu saya ke Ayuk Arisha ya”, pinta Mbak Wati

“Yuh malah bahasa inggris, itu belajar ke ahlinya sajaaa, jangan ke Saya”, jawabku kaget

“Lha kenapa? ga harus jadi ahli dulu nooo”.

“Haha, bahasa Inggrisku ala tarzan loh, malah sinau karo aku”, aku merasa geli, teringat cerita bahasa inggris seseorang yang bertinggal di daerah suku Kubu, bahasa inggrisnya asbun, asal bunyi nginggris saja. Haha.

Beberapa hari belakangan, sepulang kantor, Aku sering singgah di kantor Ayuk Zahra, saudara perempuanku, ngobrol sepanjang jalan pulang, sekalian mengantarkan ayuk, topik obrolan tentang masalah harian masing-masing, kadang gelak tawa mengenang masa-masa kecil dulu.  Terkadang agak canggung, karena kami sudah lama terpisah di lain kota, tapi beliau tetap terasa seperti Ayuk/kakak yang selalu siap membantu adiknya yang masih beradaptasi tinggal di kota ini.

“Bagaimana direktur barumu hari ini, Arisha, banyak pembaharuan?

 “Keren Yuk, semua serba gercep, banyak teman yang ketar-ketir, apalagi yang selama ini biasa slow baday, datang seenaknya sendiri saja”.

“Haa, pasti banya cerita baru ya?” Ayuk menimpali.

“Haaa, iya Yuk, bahkan ada yang sampai ga sempat pup karena takut terlambat, ada lagi seorang ibu yang sudah 3 hari tidak sempat cuci piring, semua dibiarkan begitu saja sampai pulang kerja.

“Hahaha”. Kami tertawa spontan.

obrolan ringan membantu melemaskan urat-urat leher dan otot-otot yang ikut panik disekujur tubuh.  Alhamdulillaah ada pekerjaan yang dapat ditekuni saat ini.  Teringat pesan Mamak “Syukuri semua pekerjaan kita, Nak, karena banyak orang lain yang menginginkan ada pekerjaan seperti kita, atau mereka masih lelah mencari pekerjaan untuk hidupnya”. Mamak betul juga.

Jalanan agak macet, orang-orang kembali pulang ke rumah masing-masing, aku terlambat pulang, memarkirkan mobilku sebentar di depan rumah, sebelum masuk halaman dalam pagar, aku menikmati lantunan musik pelan, tiba-tiba ponsel berdering, hah, Uda Emir!

“Assalamualiakum”.

“Waalaikum salam, Bu Arisya bisa ditemui dimana sore ini”,

“Sore ini? Aku mendadak bingung, memperhatikan kembali layar ponselku, memastika siapa yang menelfon.  “Uda di Bengkulu?” tanyaku bingung.

“Iya, Uda menemani Adik Uda yang ada kegiatan di Universitas Bengkulu

“Udaa, kapan sampai di sini?”

“Baru sampai siang ini, ini barusan selesai makan di Rumah makan Sederhana, dekat Mesjid Jamik”. Kita ketemu dimana?

“Ga tau”, jawabku masih bingung, “sebentar Udaa”. Aku memutuskan saluran telfon, memagang jantungku yang tiba-tiba berdegub tidak beraturan.

Aku membaca kembali beberapa pesan dari Uda Emir, ternyata sudah sejak tadi Udaa mengirimkan lokasi dimana posisi Ia berada, hanya saja tidak terbaca, kiriman foto Mesjid Jamik yang sangat aku kenal, Mesjid yang konon kabarnya didirikan oleh Presiden Pertama RI Ir. Sukarno, untuk mengenang semasa Beliau diasingkan di kota Bengkulu

Aku mematikan mesin mobil, melangkah masuk rumah, duduk, segelas air putih untuk menenangkan degub jantungku, mengapa aku jadi bingung begini? Aku segera membasuh wajah, mengganti baju kantor yang sejak tadi pagi aku kenakan, kepalaku terasa agak pusing, aneh sekali.

“Udaa dijemput dimana?” tanyaku

“Arisha saja yang ditemui dimana, Udaa disediakan mobil, biar Uda yang ke sana”.

“Ini bingung mau kemana Uda, Uda saja yang dijemput ke lokasi”.

“Ok, jemput di Mercure ya”.

“Baik Uda”. Aku meluncur ke Mercure, tidak jauh dari tempat tinggalku, dan setiba di lokasi, ternyata harus memutar jalan.

“Udaa bisa menyeberang jalan?”, pintaku, “karena tempat mutarnya jauh”.

“Ok, Syiap”.

Uda Emir membuka pintu mobil, senyuman Uda Emir dengan gigi kelincinya membuat aku reflek ikut tersenyum, gembira sekali.

“Halloooo, assalamualaikum, apa kabaaaaar?’ sapa Uda Emir bertubi-tubi.

“Alhamdulillah, sehat, Uda”.

Laki-laki itu duduk di sampingku, menggenakan seat belt, jantungku semakin kencang berdegub, sudah sangat lama tidak melihat laki-laki ini secara langsung, ntah kapan terakhirnya.

“Uda apa kabar?” tanyaku sambil menyalaminya, aku berusaha biasa-biasa saja, walaupun tetap saja tidak bisa.

“Alhamdulillah, baik.  Senang sekali bisa melihat Arisha lagi, bagaimana keadaan Arisha sekarang?

“Alhamdulillah baik, Uda Emir tambah keren!”

“Ish, sudah berani sekarang ya!”

“Hahahah”.

Aku mengemudikan mobil, menuju jalan yang aku sendiri tidak tahu kemana tujuannya, asal jalan saja.  Aku berusaha tenang dan santai.  Beberapa pertanyaan aku jawab sebisanya.  Aku lebih senang mendengarkan cerita-cerita Udaa Emir tentang kampusnya, kesibukan bersama alumni, memotivasi dan membantu mahasiswa dengan jurusan yang sama.

“Tidak menyangka kita bisa bertemu lagi ya, Arisha, Udapun tidak menyangka dapat melihat keadaan Arisha secara langsung”.

“Iyaa Udaa, senang dapat melihat Udaa lagi”.

Senyum sumringah Udaa Emir, mata yang berbinar gembira, suara barithon yang biasanya terdengar di ponsel sekarang terdengar langsung. Seperti ada yang aneh, iyaa ada yang aneh, tubuhku terasa semakin kaku. Walaupun Udaa Emir menyemarakkan suasana dengan berbagai jokesnya, aku serasa seperti robot.

“Uda berapa hari di sini?”

“Besok langsung berangkat ke Kalimantan, acara hari ini sampai malam, dan hanya hari ini”.

“Kegiatannya apa saja ya, Udaa?”

“Ada peresmian ikatan alumni, motivasi di kampus, semua kegiatan sukarelawan, Uda hanya ngantar saja, dan karena ada Arisha di sini”.

“Oh, really?” aku berusaha tidak terkejut, “Makasiiii”, wajahku terasa memanas, rasanya sedang berada di langit ke delapan, langit ketujuhnya kelewatan, haha.

“Udaa senang melihat Arisha dalam keadaan sehat hari ini, semoga dengan banyaknya masalah dalam hidup, Arisha semakin dewasa dan semakin dekat dengan Allah ya”, nasehat Uda menenangkan.

“Insya Allah, Uda, doakan Arisha ya”.

Mobil terus melaju, aku masih penasaran dengan kedatangan Uda Emir, sempat-sempatnya ke kota Bengkulu, walau masih banyak yang ingin ku ketahui, tapi aku simpan saja, membiarkan suara Uda Emir yang terus bercerita, aku suka mendengarnya, dengan tetap mentap ke kaca depan, jika aku menoleh ke Uda Emir, rasanya lagsung berbeda, serasa ada orang asing bersamaku.

Menjelang margrib, setelah mengitari beberapa titik Kota Bengkulu, sepanjang jalan Suprapto, tugu Fatmawati, Tanah Patah, Mesjid Agung Baitul Izzah, Kantor Gubernur, Pantai Panjang, terus kami singgah di Mesjid Jamik lagi, menunaikan sholat maghrib, kemudian Uda Emir mengajak menikmati Mie Atceh diujung jalan Suprapto, aku agak grogi duduk di depan Uda Emir, dalam 1 meja, setelah memesan makanan aku beranjak menuju lemari buku di sudut ruangan, meninggalkan Uda Emir yang sedang menelfon temannya.

Aku teringat pernah menikmati kopi Atceh setahun yang lalu sebelum pindah dan menetap di Kota ini, tapi kok tadi lupa dimana tempat ini berada, tempat ini cukup nyaman, dan banyak buku tentang Sejarah Atceh, aku membaca beberapa judul buku yang belum pernah aku lihat sebelumnya, hingga pesanan makanan datang, alhamdulillah.

“Arisha, maaf, Uda harus segera membersamai rombongan lagi ya, terimakasih atas waktu Arisha untuk Uda”.

“Oh, kebalik Udaa, Arisha yang berterimakasih pada Uda yang sudah mau datang ke sini”. 

“Sama-sama, ya”, Uda Emir tersenyum. “ini oleh-oleh untuk Arisha”.

“Oh, alhamdulillah, terimakasih Udaa”. Sebuah gantungan kunci dengan tulisan kota yang dikunjunginya beberapa bulan lalu.

“Yang penting Arisha tetap jaga Kesehatan ya, jaga ibadahnya, jangan lupa banyak berdoa, dan doakn Uda juga”.

Aku menggangguk mengiyakan, aku menyadari beberapa detik lagi akan berpisah dengan Uda Emir, aku menyalami menghormatinya, tersenyum seperti biasa, aku berusaha keras menahan air mataku, rasanya ingin tenggelam dalam pelukan laki-laki gagah ini dan menangis tersedu-sedu hingga hilang semua rasa dukaku.  Udaa Emir mengelus kepalaku.

“Baik-baik ya Arisha, jangan sedih terus, nanti turun imunnya”.

“Iya Uda, insya Allah”, sedikit anggukan dan senyuman.

Aku melaju pelan, meninggalkan Uda Emir di parkiran Mercure, lambaian tangan perpisahan, aku menutup kaca mobil, menikmati punggung Uda Emir melalui kaca spion, hingga ia menghilang. Doa-doa sepanjang jalan, “ya Allah anugerahkan aku laki-laki itu jadi suamiku jika ia baik bagi dunia dan akhiratku, jika tidak baik ya Allah, jadikanlah ia baik, aamiin.

Menjelang pagi, hatiku gembira sekali, serasa ada Uda Emir di sekitarku, entah mengapa aku merasakan laki-laki itu ada di dekatku, suaranya masih terdengar bercerita seperti kemarin, suara yang sering menggeser semua masalah hidupku menjadi terasa kecil. Pesan di whatsApp masuk,

“Arisha, keberangkatan Uda dibatalkan, kami tidak jadi ke Kalimantan, jadinya ke Kota Palembang, berangkatnya sore”.

“Hah!” aku terkejut.

“Selesaikan pekerjaanmu cepat ya, Uda tunggu!”

Aku tidak lagi membalas pesan Uda Emir, serasa banyak bintang mengitari ruang mataku, masih ada rezeki beberapa jam bersama Uda Emir, aku tersenyum, terduduk, bingung antara memilih untuk pingsan atau tidak. “ini tanggal berapa ya?”  Haha.

Kota Bengkulu, Sore 23 Sept 2023

WeCreativez WhatsApp Support
Our customer support team is here to answer your questions. Ask us anything!
👋 Hi, how can I help?